MENGENAL SEDIKIT TENTANG ASYSYAHADATAIN DAN PENDIRINYA
Abah Umar atau yang mempunyai nama asli Sayyid Umar dikenal
oleh masyarakat Cirebon dan Indonesia sebagai pendiri Thoriqot
Asy-Syahadatain.
Ciri dari Toriqot dan pengikut Abah Umar ini dapat mudah
dikenali dari pakaiannya, mereka saat Ibadah pada umumnya mewajibkan jama'ahnya
untuk memakai pakaian atau jubbah putih khas pakaian orang Arab pada jaman Nabi
Muhamad masih hidup.
Ciri lain dari pengamal Thoriqot ini adalah wiridnya,
biasanya mereka melakukan wiridan, atau pujian sebelum Sholat lima waktu dengan
wiridan atau nadhoman yang diciptakan sendiri oleh Abah Umar.
Sebelum Abah Umar mendirikan Thoriqot As-Syahadatain pada
tahun1947, beliau digambarkan sebagi pejuang dan Ulama yang kharismatik.
Gambaran mengenai riwayat hidup Abah Umar baik sebelum
mendirikan Thoriqot dan sesudahnya dapat dipaparkan sebagai berikut :
MASA PENDIDIKAN
Sebelum mengawali kelana intelektualnya, Abah Umar
mendapat pendidikan langsung dari ayahnya. Selain mendapatkan pelajaran
keagamaan seperti membaca Al-Qur’an, hadits, fiqih, tauhid, nahwu, sharaf,
mantiq, dan lainnya, Abah Umar juga memperoleh pendidikan pertanian dan bela
diri.
Belum cukup dengan pendidikan yang diperoleh dari ayahnya,
Abah Umar memulai pengembaraan pendidikannya ke Pondok Pesantren Ciwedus, Kuningan,
Jawa Barat pada tahun 1903 M di bawah asuhan K.H. Ahmad Shobari yakni murid
dari Mbah Kholil Bangkalan Madura selama dua tahun.
Abah Umar di Pesantren Ciwedus selalu hadir dalam pengajian
yang disampaikan oleh K.H. Ahmad Shobari baik dalam pengajian kitab kuning
maupun tausiyah.
Namun, beliau terlihat hanya tidur-tiduran bahkan pulas di
samping sang kyai, sehingga para santri pun mencibir dan mencemooh.
Abah Umar menunjukkan khowariknya dengan mengingatkan Kyai
Shobari jika salah dalam membaca kitab.
Begitu pun para santri yang sedang deres di kamar selalu
diluruskan oleh beliau jika salah dalam membaca.
Dengan kejadian demikian para santri akhirnya memberikan
hormat dan memuliakannya.
Dua tahun kemudian, Abah Umar pindah ke Pondok Pesantren
Bobos, Palimanan di bawah didikan Kyai Sudjak.
Dari Pondok Bobos, selanjutnya Abah Umar belajar di Pondok
Pesantren Buntet, Astanajapura, Cirebon pada tahun 1916 M yang diasuh oleh K.H.
Abdul Jamil (hidup tahun 1842 – 1919 M) dan puteranya, K.H. Abbas bin K.H.
Abdul Jamil (hidup tahun 1879 – 1945 M) sebagai kyai muda.
Setelah mengenyam pendidikan di Pesantren Buntet, Abah Umar
melanjutkan pendidikannya di Pondok Pesantren Majalengka yang dipimpin oleh
K.H. Anwar dan K.H. Abdul Halim.
Di Pondok Pesantren Majalengka ini, Abah Umar menimba ilmu selama lima tahun.
Tahun keenam, Abah Umar diangkat sebagai tenaga pengajar di
madrasah oleh K.H. Abdul Halim.
K.H. Abdul Halim sebenarnya ialah senior Abah Umar ketika beliau mondok di Ciwedus. Di Pesantren Majalengka beliau seringkali terlibat dalam diskusi dengan para tokoh pesantren maupun para tokoh yang berada di persyarikatan Ulama.
Ada orang yang sangat berjasa yang telah membiayai Abah
Umar selama menimba ilmu di pondok pesantren, yaitu K.H. Syamsuri dari
Pesantren Wanantara, Cirebon.
K.H. Syamsuri yang biasa disebut juga dengan Mbah Syamsuri
(hidup tahun 1872 – 1972 M) rutin mengirim beberapa karung beras dengan
pedatinya ke pesantren di mana Abah Umar mengenyam pendidikan untuk biaya hidup
selama di pondok pesantren.
MASA MENGAJAR dan BERDAKWAH
Setelah mengenyam pendidikan di berbagai pondok pesantren,
Abah Umar kembali ke kampung halamannya.
Ketika pulang, beliau merasa miris melihat keadaan
masyarakat yang terbiasa melakukan perbuatan maksiat, seperti berjudi,
minum-minuman, dan lainnya, serta tidak terlepasnya masyarakat akan kepercayaan
terhadap hal yang mistik seprti penyembahan terhadap leluhur dan nenek moyang.
Menyaksikan hal ini, Abah Umar merasa terpanggil untuk
berdakwah dan menghidupkan kembali syariat Islam di kampungnya.
Abah Umar kemudian mendirikan sebuah jama'ah pengajian yang
diadakan setiap malam Jum'at.
Awalnya pengajian ini mendapatkan tentangan keras, ejekan,
dan cemoohan dari masyarakat.
Namun, beliau tetap semangat dalam menyebarkan kebenaran.
Lambat taun, pengajian Abah Umar semakin ramai didatangi
oleh masyarakat yang ingin mengaji hingga memperoleh banyak jama'ah atau murid
yang berasal dari berbagai daerah di sekitar Cirebon.
PROSES TERBENTUKNYA THORIKOT ASY-SYAHADATAIN
Seperti yang sempat diulas pada bagian masa mengajar dan
berdakwah, sepulangnya Abah Umar dari belajarnya di pondok pesantren pada tahun
1923 beliau menyaksikan kemaksiatan tengah terjadi pada masyarakat di kampung
halamannya.
Hal ini membuat Abah Umar memiliki niat untuk mengembalikan
Akhlak masyarakat kepada syariat Islam.
Pada tahun 1937, Abah Umar mulai membuka pengajian di rumah
beliau bersama istri beliau, Ummi Jamilah di Panguragan Wetan, Cirebon.
Namun, niat tulus Abah Umar menuai cibiran, ejekan, bahkan
menganggapnya gila.
Bukannya hilang semangat, cibiran dan ejekan tersebut
justru semakin menumbuhkan semangat menyebarkan syariat Islam.
Dari tahun ke tahun, pengajian yang diadakan oleh Abah Umar
semakin memperoleh banyak murid.
Melihat aktivitas pengajian dan berkumpul di kediaman Abah
Umar, pemerintah kolonial merasa curiga dan menganggap pengajian tersebut
membahayakan kedudukan kolonial.
Maka, dengan tuduhan mengganggu stabilitas keamanan, Abah
Umar ditangkap dan dipenjara pada tahun 1939 M.
Kejadian ini menjadikan jama'ah Abah Umar yang waktu itu
didominasi oleh masyarakat Panguragan yang sudah menjadi pengikut setia beliau
marah.
Akhirnya, jama'ah mengadakan gerilya dan menangkap siapa
saja yang ditemui dan berhubungan dengan pemerintah kolonial Belanda.
Pemerintahan kolonial Belanda akhirnya merasa takut kepada
para murid Abah Umar sehingga beliau dibebaskan dari penjara.
Pada tahun 1940 M, Abah Umar menjadikan kediamannya sebagai
basis perjuangan, membuat perkembangan pengajiannya semakin ramai.
Anggota jama'ah yang mengikuti pengajian Abah Umar bukan
hanya dari kalangan masyarakat Panguragan saja, akan tetapi dari luar kota
juga, seperti Kuningan, Majalengka, dan Indramayu pun ikut bergabung dalam
jama'ah beliau.
Perkembangan jama'ah yang semakin pesat ini membuat
pemerintah kolonial Belanda geram, sehingga pada tanggal 24 Agustus 1940 M
untuk kedua kalinya Abah Umar ditangkap dan pengajiannya ditutup dengan tuduhan
yang sama, yakni mengganggu stabilitas keamanan dan tuduhan lainnya, yaitu
menyebarkan ajaran sesat dan menyimpang.
Akhirnya, enam bulan kemudian, tepatnya pada tanggal 20
Februari 1941 M Abah Umar dibebaskan dari penjara Keresidenan Cirebon.
Selepas keluarnya Abah Umar dari penjara yang kedua,
Belanda berusaha membujuk beliau untuk bekerjasama, namun beliau tetap
menolaknya. Oleh karena itu, pengawasan dan pendeskriditan Belanda kepada
beliau semakin ketat.
Abah Umar tidak putus asa, beliau semakin merapatkan
barisan dan mengadakan hubungan dengan para Alim Ulama guna menghimpun kekuatan
untuk menentang Belanda di bawah naungan jama'ah yang beliau pimpin.
Di antara Ulama yang diajak kerjasama adalah Kyai Ahmad
Sujak dari Bobos, K.H. Abdul Halim dari Majalengka, K.H. Mustofa dari Graksan,
K.H. Ahmad Ridwan Yasin dari Wanantara, K.H. Anwar dari Cilimus, serta K.H.
Zainal Asiqien dan Kyai Khozin dari Munjul Astanajapura.
Selanjutnya, ketika terjadi pendudukan Jepang di Indonesia,
perlakuan Jepang terhadap jama'ah yang dipimpin Abah Umar juga tidak kalah
kejamnya, karena dengan tegas Abah Umar dan jama'ahnya menentang Jepang,
sehingga Jepang pun menangkap Abah Umar dan memasukkan beliau ke penjara pada 18
Juli 1943 M sampai dengan 25 April 1944 M.
Setelah kemerdekaan, tepatnya pada tahun 1947 jama'ah Abah
Umar secara resmi menamakan jama'ah pengajiannya dengan nama Thoriqot Syahadat
Shalawat atau Jama'ah As-syahadatain.
Penamaan tersebut berkaitan dengan ajaran beliau yang
menekankan tentang makna dua kalimat Syahadat dan implementasinya dalam
kehidupan sehari-hari.
Syahadat adalah dasar dan inti ajaran Islam yang justru
banyak dilupakan oleh umat Islam.
Dinamakan juga dengan Thoriqot Syahadat Shalawat karena
setiap selesai shalat fardhu, Abah Umar mengajarkan kepada murid-muridnya untuk
mengistiqomahkan membaca dua kalimat Syahadat dan diiringi dengan shalawat.
Bacaan Syahadat shalawat ini dibaca tiga kali (wa sallam-
wa sallam- wa sallim). Demikianlah proses terbentuknya Thoriqot
Asy-Syahadatain.
WAFATNYA ABAH UMAR
Pada tahun 1973, Masjid Abah Umar kedatangan khodim baru
yang bernama Mar’i. Ia yang menjadi pelayan di dalam lotengnya Abah Umar.
Pada suatu hari dia mengambil pentungan kentong masjid dan
memukul kepala Abah Umar sehingga beliau pingsan dan dibawa ke Rumah Sakit
Gunung Jati Cirebon.
Setelah beberapa bulan, beliau dipindahkan ke Rumah Sakit
Hasan Sadikin Bandung. Akhirnya tidak berselang lama, Abah Umar bin Ismail bin
Yahya berpulang di RS Hasan Sadikin Bandung pada tanggal 20 Rajab 1393 H atau
19 Agustus 1973 M.
SISILAH SAYYIDI SYEHUNAL MUKAROMABAH UMAR
- Sayyidina Wamawlana Muhammad
SAW.
- Sayyidina Fatimatuzahro
- Maulana Sayyidina Husein
- Imam Ali Zaenal Abidin
- Imam Muhammad Al-Bakir
- Imam Ja'far Shodik
- Imam Ali Al-Ariydho
- Imam Muhammad Annakib
- Imam Isya Annakib
- Imam Ahmad Al-Muhajir
Ilallah
- Imam Ubaiydillah
- Sayyid Ali
- Sayyid Muhammad
- Sayyid Alwiy
- Sayyid Ali Khali qosam
- Sayyid Muhammad Shokhib
Mirbath
- Sayyid Ali
- Sayyid Muhammad Al-Faqih
Muqodam
- Sayyid Alwiy
- Sayyid Ali
- Sayyid Muhammad
- Sayyid Alwiy
- Sayyid Ali
- Sayyid Hasan
- Sayyid Yahya
- Sayyid Ahmad
- Sayyid Alwiy
- Sayyid Muhammad
- Sayyid Abdullah
- Sayyid Idrus
- Sayyid Ahmad
- Sayyid Syeh
- Sayyid Tohha
- Sayyid Syeh
- Sayyid Ahmad
- Sayyid Ismail
- Habibullah Abah Umar
Tidak ada yang mencintai kami ahlu
bait kecuali orang yang beriman dan bertaqwa, dan tidak ada yang membenci kami
kecuali orang munafik dan durhaka.
CATATAN :
Di dunia ini dalam sejarah memiliki berbagai macam versi. walaupun setiap versi itu berbeda-beda jalan ceritanya, tetapi kalau kita cermati dari sekian banyak versi maka akan menemukan titik temunya.
Maka dari itu, janganlah kita berdebat gara-gara perbedaan versi apalagi sampai adu keringat. Karena islam tidak mengajarkan kita untuk saling menjatuhkan dalam satu ikatan.
CATATAN :
Di dunia ini dalam sejarah memiliki berbagai macam versi. walaupun setiap versi itu berbeda-beda jalan ceritanya, tetapi kalau kita cermati dari sekian banyak versi maka akan menemukan titik temunya.
Maka dari itu, janganlah kita berdebat gara-gara perbedaan versi apalagi sampai adu keringat. Karena islam tidak mengajarkan kita untuk saling menjatuhkan dalam satu ikatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar